Bulan ini saya tuntas membaca dua buku karya Sindhunata. Buku yang pertama berjudul Putri Cina, sementara yang kedua Tak Enteni Keplokmu-Tanpa Bunga dan Telegram Duka.
Kali ini saya akan meresensi buku yang saya sebut terakhir, sebab buku itulah yang terbit lebih dahulu dibanding Putri Cina.
Kalau ditanya buku ini bercerita tentang apa, terus terang saya bingung menjawabnya. Berbeda dengan tulisan-tulisan nonfiksi Sindhunata yang terang benderang, tulisan fiksi beliau di buku ini sulit digambarkan kembali ―meskipun sama-sama memikat.
Sederhananya, buku ini bisa dibilang sebuah hasil imajinasi dan kreasi Sindhunata terhadap tiga lukisan Djokopekik. Adapun Djokopekik adalah seorang pelukis senior yang terkenal kritis terhadap situasi politik di negeri ini.
Ketiga lukisan itu berjudul Susu Raja Celeng, Indonesia 1998 Berburu Celeng, serta Tanpa Bunga dan Telegram Duka Tahun 2000. Sekadar catatan, lukisan Indonesia 1998 Berburu Celeng laku dengan harga 1 miliar rupiah dalam suatu pameran di Yogyakarta pada tahun 1999.
Bagi Djokopekik, trilogi lukisan tentang celeng itu merupakan refleksi dirinya atas suasana politik pada masa orde baru. Sindhunata melalui buku ini mencoba “membaca” dan merekonstruksikan kembali refleksi tersebut. Ia membebaskan imajinasinya, merangkai lukisan-lukisan itu menjadi sebuah lakon hidup yang asyik dibaca.
Apa yang digambarkan dalam buku ini begitu sesuai dengan kondisi tahun 1998, di mana saat itu terjadi gesekan dan konflik sosial yang… well, mengerikan.
Sekilas sebagian besar tokohnya samar, tapi ternyata mudah dikenali. Berkali-kali saya membatin, ”Oh tokoh ini tuh si ini, tokoh itu tuh si itu,” dan seterusnya.
Sekadar gambaran, tokoh celeng yang banyak dibicarakan dalam buku ini saya simpulkan sebagai you know who ―sang penguasa yang tumbang pada tahun 1998.
Meski demikian, di bagian akhir dikisahkan bahwa celeng tersebut sebenarnya bukan sekadar tokoh yang mewujud.
Celeng juga merupakan lambang dari keserakahan. Keserakahan yang lantas melebar menjadi kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan angkara murka.
Buku ini seolah-olah ingin menggambarkan bahwa bibit-bibit celeng itu ada dalam setiap diri kita. Tinggal kita yang selanjutnya memilih, mau mengendalikannya atau malah mengumbarnya sehingga kita yang kemudian dikendalikan olehnya.
****
Judul: Tak Enteni Keplokmu – Tanpa Bunga dan Telegram Duka
Penulis: Sindhunata
Tebal: 176 halaman
Bulan Terbit: Desember 1999
ISBN: 978-979-655-4911
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Semacam kece nih bukunya Dit. 😀 Kalao deket dah minjem kali gw yah :p
Kece kok mbak. Itu juga aku minjem di perpustakaan kota 😀