Selama ini saya mengagumi Tere-Liye, sebab ia begitu produktif. Setiap kali menyambangi toko buku, saya sering melihat buku-buku karangannya terpajang rapi di rak. Jumlah judulnya cukup banyak.
Meski begitu, saya belum pernah membaca satu pun bukunya, salah satunya karena di kamar saya masih menumpuk buku-buku yang belum saya baca. Bagaimanapun, saya ingin menuntaskan tumpukan itu terlebih dahulu ―atau setidaknya menguranginya, sebelum membeli dan membaca buku lainnya.
Nah, minggu ini tumpukan buku-yang-belum-saya-baca sudah menipis. Karena itu, Sabtu kemarin (27/12) saya pergi ke perpustakaan kota untuk mencari buku karya Tere-Liye. Sayang, hampir semua judul sudah dipinjam dan belum dikembalikan. Hanya ada satu buku yang tersisa, dan saya segera mengambilnya supaya tidak keduluan oleh yang lain.
Buku itu berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Saya membacanya hanya dalam sekali duduk di perpustakaan (dari pagi sampai lewat tengah hari).
Sebuah keluarga miskin menjalani kehidupan yang berat karena kemiskinan mereka. Keluarga itu terdiri atas seorang ibu, anak perempuan berusia 11 tahun bernama Tania, dan anak laki-laki berusia 6 tahun bernama Dede. Sejak sang ayah meninggal, kehidupan mereka semakin memprihatinkan. Mereka terpaksa tinggal di rumah kardus.
Tania dan Dede tidak bersekolah. Mereka menghabiskan hari-hari dengan mengamen di bus-bus kota.
Suatu ketika, Tania tertusuk paku payung saat sedang mengamen di bus. Tidak ada yang memedulikannya, kecuali seorang pemuda ramah yang kemudian menolongnya dan memberinya uang untuk membeli obat merah. Pemuda itu bernama Danar, berusia 25 tahun.
Pertolongan Danar rupanya tidak berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia menjadi malaikat bagi keluarga miskin tersebut. Ia rajin menyambangi rumah kardus mereka. Ia juga menyekolahkan Tania dan Dede. Perhatian itu barangkali dilatarbelakangi oleh nasib Danar yang seorang yatim-piatu dan kurang merasakan kehangatan sebuah keluarga.
Kehidupan keluarga Tania dan Dede semakin lama semakin membaik. Mereka bahkan bisa pindah dari rumah kardus ke sebuah rumah kontrakan sederhana. Sang ibu kemudian mencoba membuat usaha kue kecil-kecilan dengan modal dari Danar. Dari situ, taraf hidup keluarga tersebut semakin meningkat.
“Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa.” (Tania).
Tania dan Dede tumbuh menjadi anak yang cerdas dan rupawan. Tania bahkan mendapatkan beasiswa ke Singapura. Dan seiring semakin dewasanya Tania, ia mulai menyadari adanya perasaan yang “tak biasa” kepada malaikat penolongnya.
Selanjutnya kisah cinta Tania berjalan rumit dengan akhir kisah yang memilukan. Selain itu, Danar rupanya menyimpan sebuah rahasia besar. Konflik yang berkelindan di antara keduanya hanya disebabkan oleh satu hal, yakni ketidakberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.
Jujur, saya merasa sesak setelah membacanya. Sialan.
Gaya menulis Tere-Liye dalam buku ini sangat khas, yakni kalimatnya pendek-pendek, namun dipadukan dengan kalimat panjang dengan komposisi yang pas. Hasilnya adalah sebuah tulisan yang enak dibaca.
Saya pernah membaca buku yang menggunakan gaya serupa –kalimatnya pendek-pendek. Tapi, tulisannya jadi terasa patah-patah. Saya sangat tidak menikmatinya. Mungkin memang dibutuhkan kelihaian seperti Tere-Liye untuk membuat tulisan yang enak dibaca dengan gaya yang demikian.
Saya setuju dengan teman-teman saya. Tere-Liye memang seorang penulis dan pencerita jempolan.
****
Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis: Tere-Liye
Tebal: 264 halaman
Ukuran: 14 x 20 cm
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-5780-9
Saya salah satu pengagum Tere Liye. Mungkin hanya satu atau dua bukunya yang belum pernah saya baca.
Patah-patah, kebas adalah beberapa kata khas Tere Liye yang menarik menurut saya.
Iya, khas banget, Mas….
Saya baru mau baca buku-buku lainnya nih, hehe….
baru tahu saat jalan-jalan ke G****a kemarin ternyata Tere Liye sudah ada buku terbaru, judulnya Rindu. Sayang banget, budget belum mengijinkan aku membawa pulang buku Rindu hari itu.
Iya mas, saya juga beberapa kali lihat buku itu di toko. Tebel banget bukunya. Duh, pengen beli, tapi di kamar banyak banget buku yg belum dibaca, haha….
Ada baiknya selesaikan dulu baca buku yang ada baru beli yang baru. mau dibantu baca buku-bukunya? Hehehehe
Hahaha… bisa aja.. :))
Oh iya pak, kapan-kapan cek spam, ya. Soalnya komentar saya kayaknya kecebur di spam, hehe….
Sad ending? NGGAK MAU BACAAAA! 😥
Hahaha…
Bener, Tere Liye ini produktif banget.. nyelesain naskah buku kayak bikin telor ceplok. Buku2 karyanya pasti selalu terpampang jelas di toko buku.
Gue bikin telor ceplok aja lama 😦
Iya bro, sama, hahaha….
Besok tenggok di gramedia 🙂
Di perpustakaan kota juga ada 😀
Sedang mengagumi Tere Liye juga
Tapi masih bnyk buku blom kelar2 dibaca