Di dekat kantor saya ada warung makan padang prasmanan yang baru saja buka. Seperti halnya sesuatu yang baru, warung itu pun terlihat memukau. Sebagai seorang pecinta gadis masakan padang, saya pun langsung menyambangi warung itu pada hari pertama buka.
Tak disangka, ternyata masakannya sangat enak! Sayurnya kental penuh bumbu, sambalnya sedap, dan bumbu rendangnya menggigit lidah. Baru berdiri di pintu warungnya saja sudah tercium aroma kuah gulai yang membangkitkan selera.
Dan satu lagi. Ini yang paling penting: nasinya enak bingits. Hangat, tidak lembek, tapi juga tidak keras. Kalau kata Demian, “sempurna”.
Tidak jauh dari situ sebenarnya sudah ada warung makan padang yang sudah lebih lama berdiri. Tapi, saya kurang cocok dengan masakannya. Nasinya lembek, kuahnya terlalu cair, bumbunya minim, dan lauknya kurang sedap. Makanya saya jarang sekali makan di sana.
Saya berpikir, dengan berdirinya warung makan padang baru yang enak bingits itu, maka warung yang lama cepat atau lambat pasti akan gulung tikar.
Kemarin saya berbincang-bincang dengan beberapa teman kantor. Obrolan kami tanpa sengaja masuk pada perbandingan warung padang yang lama dengan yang baru. Saya dengan penuh semangat menggambarkan betapa enaknya masakan di warung makan padang yang baru itu.
“Hmm… Kalau aku sih lebih cocok sama warung padang yang lama,” sahut Rudi. “Aku udah nyoba makan di warung yang baru, tapi nasinya nggak enak.”
Farid teman saya yang lain juga menanggapi, “Iya, lebih enak masakan di warung padang yang lama!”
Saya melongo.
Ketika itu teman saya ada tiga orang, dan ketiganya punya pendapat yang sama. Hanya saya saja yang berbeda. Saya berusaha mati-matian menyadarkan mereka bahwa masakan di warung padang yang baru jauh lebih enak dari warung padang yang lama. Tapi mereka tetap bersikukuh dan tidak terpengaruh.
Saya benar-benar tidak habis pikir dengan mereka.
Tapi, kemudian saya teringat dengan kata-kata yang dikutip oleh dosen saya dulu, pengampu mata kuliah filsafat seni. Kata beliau, “Selera tidak bisa diperdebatkan.”
De gustibus non est dispuntandum.
Sesuai dugaan saya, saat ini warung makan padang yang baru memang ramai. Tapi, warung makan padang yang lama ramai juga. Rupanya mereka punya penggemar masing-masing.
Lantas saya juga teringat dengan debat kusir penuh emosi di Facebook sejak menjelang Pilpres yang lalu sampai sekarang.
Jangan-jangan yang mereka ributkan itu sebenarnya lebih ke masalah selera?
Kita tahu, selera juga bisa terkait dengan masalah memilih pemimpin. Ada yang seleranya begini, ada pula yang begitu. Kalau benar demikian, maka mau sampai kumisnya Dian Sastro tumbuh pun, perdebatan itu tidak akan bisa selesai.
Wah rumah makan padang prasmanan. Kok saya ga pernah ketemu yang kayak gitu. Soal seleras sih memang rahasia Tuhan dan masing-masing, Mas.
Masak sih, Mas? Di Jogja ada banyak lho padahal….
Mungkin para pendukung pemimpin itu masih debat karena mereka pada belum kenyang, beda seperti warung nasi Padang. Karena kan kalau mereka semua sudah kenyang makan nasi Padang sesuai seleranya masing-masing, biasanya ngantuk, terus tidur, debat pun usai. Dunia pun kembali damai…
Hahaha… bisa jadi, Mas! :))
Hahaha..Semuanya tergantung selera masing-masing ya…
Betuul… 😀
Rumah makan Padang prasmanan? diluar kebiasaan.
Selera emang susah yah mas,
tapi Dian Sastro berkumis, gimana jadinya Rangga?
Masak di luar kebiasaan sih, Mas? Di Jogja ada banyaak….
Yang benar Dit? Rumah makan Padang prasmanan, di ragukan itu 😀
Selera itu padahal batasnya saat melewati kerongkongan aja, tapi urusannya tetap ga bisa dipaksakan.
Bener, Mbak. Di Jogja ada banyak. Malah saya heran kalo ada yg nggak tau tentang warung makan padang prasmanan 😀
iya kah mas ?? kita buktikan, tunggu sampai kumisnya dian sastro numbuh ya hehehe…
klo dipikir iya juga ya, pilpres kemarin ribut2 itu sbenarnya karena perbedaan selera…dan prbedaan selera itupun sepertinya sampai skarang blm mncapai titiktemu, kdua pendukung dari dua kubu masih suka silang pendapat…yaiyalah toh mereka beda selera ya dan ndak mungkin disatukan :O
Nah! Begitulah, Mas…. 😀
Bang Ditter, ajak aku ke sanaaaa 😛 Belom pernah nyobak makan di rumah makan padang yang prasmanan. Hihihi..
Mungkin selera kita sama ya. Aku jugak sukak kuah gulai yang kental dan berbumbu. Slurp.
Sini, Beb. Di sini banyak kok warung padang yg prasmanan gitu. Hati-hati kolesterol, lho 😀
Asiiiiik.. Janji yah? 😀
Ngga papa, kan sekali-sekali. 😛
Siaaap 😀
Dian Sastro emangnya bisa kumisan? Hiahahaha
Iyo, soal selera beda beda ya tiap orang..
Nah! 😀
Aku sukak warung padang mana aja yang ambil sendiri trus itungan bayarnya cm nasi sayur + lauk. Bisa ngambil sepuas puasnya dan sekenyang kenyangnya
Wah, prinsip kita sama, Qied! :))
Semua punya selera masing2, seperti hal nya aku yg tak suka wisata sejarah, museum dan sejenisnya. Di paksa apapun, dirayu apapun tetep ngak bisa menikmati nya, kecuali di bayar mahal untuk itu #Matre
Aah… Mas cumi ini ternyata mas-mas bayaran :))
betul sih, kalau sudah seleranya begitu… nggak bisa dipaksain…
Nah!
Jadi Dian Sastro itu cowok sekarang? Hahaha,….. Yup, gue juga setuu, nggak usah ributin soal selera. Nggak ada gunanya.
Nah!
soal selera emang gak bisa dipaksakan, beda orang, beda selera 😀
Nah!
selera dan nafsu mah sama ajaa..
salam kenal, jangan lupa mampir balik ke –> katamiqhnur.com yaa..
di jamin bakalan nggak rugi dehh..
Salam kenal juga 🙂
lah..kumisnya dian sastro dibawa-bawa 😛
Trus mau bawa apanya dong :p
jangan kebanyakan nasi padang bro, gak baik
tapi nasi padang emang enak sih 😐
Hahaha.. dilema ya, Bro… 😀
Nasi Padang memang surga dunia yang diturunkan lebih awal oleh Tuhan haha..mau prasmanan atau gak, Nasi Padang emang top
Setuju!
Setuju, kalo udah soal selera mo sampe bunuh2an juga ya ga akan sama yah.. haha 😀
ah, saya juga sama pacar nyaris bertolak belakang dalam selera makan. menurut saya ayam bakar bumbu rujak biasa aja, tapi dia doyan banget! dia gak suka daging sapi termasuk olahannya, saya gak suka ikan padahal dia pencinta ikan 😀 jadinya seringnya ke tempat makan yang menyediakan ayam (yg sama sama kami sukai) atau menyediakan keduanya: daging sapi dan ikan. hadeuh, selera oh selera.
oh ya, dia doyan banget nasi kuning pake kecap. sedap banar katanya. saya ngeliat dia ngucurinnya aja udah pengen muntah 😀
Hahaha… kok ada sih yg makan nasi kuning pakai kecap… :))