Sewaktu sedang berselancar di dunia maya, secara tidak sengaja saya tiba di sebuah laman yang berisi iklan tentang kursus menulis. Setelah saya telusuri, ternyata banyak juga orang atau lembaga yang menawarkan jasa serupa.
Mungkin itu karena peluang pasarnya cukup besar. Atau dengan kata lain, ada banyak orang yang ingin menjadi penulis, atau setidaknya ingin bisa menulis bagus.
Teman saya pernah berujar, “Kalau mau jadi penulis, banyak-banyaklah melakukan perjalanan. Atau kalau tidak, banyak-banyaklah membaca dan berkhayal.”
Ia mengucapkan hal itu untuk menyindir orang-orang yang senang sekali mengikuti kursus menulis sampai berkali-kali, tapi tidak kunjung menghasilkan karya. Mereka seolah-olah berhenti hanya sampai di situ. Seperti terjebak dalam candu.
Saya sendiri percaya bahwa pelatihan menulis bagaimanapun tetap berguna, sejauh itu ditempatkan secara pas, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri dari rasa insecure semata. Nah, saya mengutip ucapan teman saya tadi bukan untuk ikut-ikutan menyindir, melainkan karena sepakat dengan isi kalimatnya.
Dengan melakukan perjalanan, kita jadi punya banyak sekali cerita yang kemudian bisa kita tulis. Demikian pula jika kita senang berkhayal atau rajin membaca buku. Kalau tidak punya cerita, kita mau menulis apa?
Blog favorit yang sering saya kunjungi kebanyakan ditulis dengan kaidah bahasa yang longgar, sebab memang pada dasarnya blog bukanlah media formal. Secara bahasa, tulisan mereka mungkin acak-acakan.
Bayangkan, ada yang menulis ‘siang’ dengan kata ‘siank’ (haha!). Tapi, mereka punya banyak cerita yang membuat saya terpesona.
Sebenarnya sih hanya kejadian atau pengalaman sehari-hari saja. Tapi, justru itu yang menarik. Dan sejauh itu ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, maka saya pun bisa menikmatinya. Sangat menikmatinya bahkan.
Pada dasarnya saya memang senang memperhatikan manusia.
Mas Pandji Pragiwaksono dalam salah satu postingannya pernah berkata, “Dalam berkarya, gue selalu berpatokan pada dua hal, yakni ‘luaran’ dan ‘daleman’.”
“Luaran” adalah hal teknis dalam berkarya yang bisa terlihat langsung oleh penikmatnya, misalnya teknik menulis. Sementara “daleman” adalah hal-hal yang justru tidak bisa dilihat secara langsung, yaitu ide dan cerita.
Mas Pandji sendiri mengakui karyanya kurang kuat di luaran, tapi sangat kuat di daleman.
Dan mungkin karena itu karya-karyanya begitu menggugah.
Dulu saya pernah ditanya oleh seorang kawan, apakah para penulis hebat suka mengikuti kursus menulis? Saya tidak bisa menjawabnya dengan pasti, sebab tidak punya sumber informasi yang lengkap dan mumpuni.
Meski begitu, saya meyakini, para penulis hebat itu pasti suka membaca, suka mengkhayal, atau mungkin suka melakukan perjalanan.
Well, saya jadi teringat dengan kata-kata Pram, “Kalau mau nulis, ya nulis aja.”
Kalau menurut saya menulis itu tidak bisa dipisahkan dari membaca. Mereka yang gemar menulis pasti gemar membaca. Karena setidaknya diksi penulisan itu berkaitan erat pada bacaan yang pernah dibaca.
Kaidah bahasa di blog memang lebih longgar daripada media cetak. Tapi sejauh ini, saya berusaha agar kelonggaran tersebut tidak berbalik membuat bingung para Pembaca, hahaha. Intinya sih saat kita menulis, saat itu juga kita juga pikirkan apa Pembaca bakal ngerti dengan maksud dari apa yang kita tulis.
Gitu aja sih. 😀
Bener banget itu, Bro. Setuju 😀
hmmm setuju *manggut, benar-benar*
cuma kalau emak-emak yang jarang melakukan ‘perjalanan’ mengantisipasinya mengamati perjalanan orang sekitarnya aja 🙂
Nah, kayak gitu juga bisa, Mbak 😀
Kalau mau nge-blog, ya nge-blog aja.. Hihihihi.. 🙂
Betul 😀
mengatur alur penulisan antar tema dan paragraf bagi saya paling susah.
Bisa dipelajari, Sob 🙂
kata Kang Maman (notulen ILK) kalo mau jadi penulis harus banyak membaca dan menulis 🙂
Nah! 🙂
Ayok Bang Ditter, kita traveling bareeeeeng! 😛
Nanti kalau nyasar gimana? 😀
Kalok ngga nyasar ya bukan traveling namanya, Bang 😀
Banyak membaca, melakukan perjalanan dan terus menulis biar makin terasah kemampuan kita.
Dan gw ngak terasa asa, tulisanku tetep kacau dan amburadul #ngakAdaBakat
Hahaha…. tapi kan blog bang cumi terkenal ke mana-mana 😀
Wakssss masak se ??? Ngak percaya #halah
Eh comment ku kok sering masuk spam yaaa, ngak muncul 😦
its passion… dibedain dulu nih antara passion, ingin eksis dan mata pencaharian.
Jika menulis bukan passion, mau ikut pelatihan gimanapun yah nggak akan jadi buku.. justri malah mentok disitu2 ajah,, ngikutin alur teori yg didapet.. bukan begitu Dit hahahahaa..
Kalo buat aq nulis itu ajang luapin isi hati, isi kepala dan kegundahan.. itu ajah sih.. 🙂
Iya, kepala jadi kerasa ringan, ya. Plong 😀
Sesungguhnya aku penasaran dengan kursus menulis ini, Dit. Pengen ikutan, tapi mahal. Gak ada duitnya. 😆
Cari yg gratisan aja, Kim 😀
Bener sih, mo kursus kek gmn juga kalo ga pernah biasain nulis ya jatuhnya segitu2 aja.. Dan betul, menulis ga bisa dipisahkan dengan membaca.. Semakin banyak org baca bisa membuat tulisan lebih ok.
Tumben mbak komentarnya nggak ada ketawanya, haha… 😀
Terus menulis sambil memperhatikan tulisan-tulisan lain. 😀
Sip!
kalau saya sendiri lebih sering diberikan saran untuk rajin membaca dan rajin-rajin menulis dan mengembangkan imajinasi kata-kata.
Itu juga bisa, Kang 😀
ya mas 🙂
salam kenal mas ditter 🙂
Kursus menulis itu memang perlu bagi sebagian orang, terutama yang mempunyai niat besar mengasah kemampuan menulis. Tapi ujung-ujungnya, latihan dan terus latihanlah yang membuat tulisan seseorang menjadi semakin matang. Blog bisa menjadi media yang mudah diakses bagi siapa saja sehingga tulisan kita, seacak-acakannya sekalipun, bisa jadi mendapat respon dari netizen, baik itu berupa pujian, kritikan, atau sekadar koreksi. Saya sepakat dengan mbah Pram, yang penting sih, kalau mau nulis, ya nulis saja. Kalau mau ngeblog, ya ngeblog saja hehehe 🙂
Iya Mas. Bagi saya pribadi, blog bisa menjadi sarana belajar yg sangat efektif 🙂
Untuk saat ini aku pun berprinsip seperti itu sih mas…
Kalo mau nulis yah nulis aja…
Karena aku sangat menyadari bahwa secara teknis tulisanku masih sangat dibawah standard…bhuahahaha…gak pernah terlalu memperdulikan EYD dsb..suka ribet sendiri soalnya mas 🙂
Tapi masih berusaha untuk belajar terus sih…
Mantaaap…. Walaupun sudah emak-emak, tapi belajar tetap harus ya, Mbak 😀
kadang menulis dipengaruhi mood juga sih..
tapi kalau dilatih secara rutin..pelan-pelan tulisan akan berkembang lebih baik dan nyaman dibaca 😀
Betul mas. Kayak tulisan-tulisan di teamtouring, enak dibaca 😀
Kalau menurut saya sih, kebanyakan penulis ternama terbentuknya alami. Mulai dari andersen sampai rowling. Di indonesia, ada Raditya Dika, Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Bernard Batubara, atau Dewi Lestari yang kebanyakan dari mereka bukan datang dari fakultas sastra. Mungkin calling atau passion ya di nulis. Dan buat mereka yang putus di tengah jalan, sorry to say, ada yang salah berarti. Bukan jalannya.
Betul! Iya, para penulis besar itu terbentuknya alami, mereka mengasah diri dengan terus berlatih. Intinya, nggak manja 😀
Dengan tulisan yang bagus blog kita juga bisa ramai, sebab itu kita perlu belajar nulis.
Oke…