“Apa nama ibu kota Sulawesi Barat?” tanya saya sembari meliriknya.
Saat itu kami berdua tengah asyik main tebak-tebakan di kamar. Ia duduk bersila di ujung kasur, sementara saya berbaring sambil membaca buku pintar yang menjadi rujukan saya dalam membuat pertanyaan-pertanyaan.
“Mamuju,” ia menjawab dengan penuh keyakinan sambil mengulum senyum.
Saya tercengang. Sudah kesekian kalinya ia menjawab pertanyaan saya dengan benar. Hal itu semakin membuktikan bahwa ia memang orang yang cerdas. Meskipun ia sendiri selalu merasa biasa-biasa saja, tapi saya mengagumi kecerdasannya.
Sejak duduk di bangku kuliah, saya memang jadi semakin sering bertemu dengan orang-orang cerdas.
Ketika bergabung dengan marching band, lingkungan pergaulan saya juga jadi semakin luas. Saya bisa berkenalan dan berteman dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Dan kau tahu, sebagian besar di antara mereka berotak encer.
Kadang-kadang saya suka bertanya-tanya sendiri, sebenarnya selama ini mereka ngapain aja hingga bisa jadi pintar seperti itu?
Dalam berbagai obrolan, secara diam-diam saya suka memancing orang-orang itu untuk menceritakan masa lalu mereka. Akhirnya saya dapat cerita bahwa rata-rata sejak SMP mereka memang sudah rajin belajar, atau paling tidak “terpaksa” atau “dipaksa” rajin belajar.
Padatnya kegiatan belajar di sekolah favorit tempat mereka menuntut ilmu membuat mereka secara otomatis menjadi giat. Sepulang dari sekolah pun sering kali mereka tidak bisa bermain, tapi harus melanjutkan kegiatan di lembaga bimbingan belajar.
Dengan kata lain, mereka menghabiskan masa-masa remaja dengan belajar dan belajar. Itulah masa-masa penempaan diri mereka.
Sekarang pertanyaan saya jadi berubah, sebenarnya selama ini saya ngapain aja hingga tidak bisa sepintar mereka?
Well, harus saya akui, saya menghabiskan masa remaja dengan malasan-malasan. Dulu saya sering menghabiskan hari hanya dengan tidur, main, dan menonton televisi. Di sekolah pun jarang belajar dengan keras dan serius.
“Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan,” begitu kalimat bijak yang pernah dilontarkan oleh Imam Syafi’i.
*****
Saat ini saya sedang menanggung banyak pekerjaan yang saya ambil untuk mencoba mengubah nasib. Supaya bisa menyelesaikannya, saya perlu menambah jam kerja.
Di luar jam kantor, saya menyisihkan waktu 3-4 jam lagi selama sehari untuk bekerja di kos. Hal ini baru berlangsung selama 1 minggu, jadi masih belum menjadi sebuah kebiasaan sehingga rentan berubah. Tapi, mudah-mudahan saya bisa melakukannya secara istiqomah.
Meskipun jam kerja bertambah, tapi saya tetap berusaha menjaga jam tidur saya. Dalam sehari, saya mewajibkan diri untuk paling tidak tidur selama 6 jam.
Karena tidak mau mengorbankan jam tidur, berarti saya harus mengorbankan waktu main. Makanya akhir-akhir ini saya jarang berekreasi, seperti jalan-jalan, karaokean, dan sebagainya. Sejauh ini rekreasi saya satu-satunya adalah tidur, dan bagi saya itu sudah cukup.
Saya menerima kondisi itu dengan ikhlas, dan bahkan cukup bisa menikmatinya. Saya menganggapnya sebagai sesuatu yang memang sudah selayaknya saya tanggung sebagai akibat dari pilihan saya dulu.
Well, kadang-kadang memang terasa berat, tapi semoga Tuhan memberikan saya kekuatan. Dan saya rasa di luar sana masih lebih banyak lagi orang yang memiliki beban yang jauh lebih berat daripada saya. Jadi saya tidak perlu membuat drama. Yang perlu saya lakukan adalah berikhtiar.
Menyitir kata pepatah, “Kita saat ini merupakan hasil dari keputusan dan pilihan kita pada masa lalu.”
Selamat menikmati hari-hari ikhtiarnya, istiqomah *terbayang masa depannya nanti Dit, bisa leyeh2, sip 😀
Haha… Aamiin… terima kasih, Mbak 😀
Dan saya amat percaya pepatah yang terakhir. Saya memutuskan berhenti kuliah dan pergi ke surabaya adalah salah satu alasan saya bertemu suami. Jika dulu tak memutuskan seperti aku juga tidak tau.. Hehe tapi emanh bener bangeeeet
Waaah… keren, Mbak. Sudah berani ngambil keputusan. Insya Allah itu yg terbaik, ya 🙂
duh aku jg gak suka belajar…. ;(
Duh 😦
Menyitir itu apaan sik? ._.
Anak UGM, Bang.. Ngga akan ku ragukan lagi tingkat keenceran otaknya..
Btw, aku rajin belajar dari SD dan sekarang keknya uda sampek di titik jenuh. Beneran males buat belajar. Kecuali belajar tentang seni 😛
Semoga ikhtiarnya sesuai dengan hasilnya ya, Bang.. 😀
Yg jelas menyitir itu beda sama menyetir :))
Aamiin….
Ayo Beb yg semangat belajar seninya 😀
Wah ini masukan buatku jg 😦
Kita sama-sama belajar ya, Mbak 🙂
apabila kita ingin mengejar sesuatu tentu harus diiringi dengan ikhtiar dan do’a ya mas agar bisa tercapai 😉
Iya, Mbak 🙂
setuju banget deh. kondisi dan bagaimana kita saat ini adalah hasil dari bagaimana kita di masa lalu. dan bagaimana kita di masa depan ditentukan oleh bagaimana kita sekarang.
Nah! 🙂
“Kita saat ini merupakan hasil dari keputusan dan pilihan kita pada masa lalu.”
yaa, inilah kehidupanku sekarang yg kupilih di masa lalu
Mari dijalani dengan penuh semangat 😀
Kamu tidak sendiri kok yang suka bertanya-tanya seperti itu. 😛
Tos!
duh, postingan ini seharusnya dibaca sama adik2 kita yang masih pada sekolah nih mas…yang hobinya suka nongkrong2 di mall daripada belajar 🙂
pppsssttt…tapi aku juga dulu suka males2an belajar sih mas…yah akhirnya begini ini deh…hihihi..
Iya nih, Mbak. Harusnya mereka baca tulisan ini supaya kelak nggak menyesal :p
Wah, berarti kita sama dong, hahaha….
cemunguth kaka, memang hidup butuh pengorbanan 🙂
Makacih kakaaak 😀
Kalau aku gimana ya. Kadang kalau moodnya bagus, rajin banget belajar. Hahaha.
Kadang-kadang aku juga suka gitu sih, hahaha…
Sama nih, malas belajar juga 😦 Jadinya ilmu nya gini2 aja..hiksss 😦
Duh…. Tapi tos dulu deh kita! 😀