Saya selalu senang jika mendengar kabar ada teman yang menikah. Sama senangnya ketika mengetahui ada teman yang memutuskan untuk menjadi pengusaha. Menikah atau menjadi pengusaha merupakan hal yang baik, dan bagi saya hal itu merupakan keputusan yang berani.
Ya, tidak semua orang berani mengambil keputusan itu. Saya misalnya. Meskipun punya keinginan untuk menikah dan menjadi pengusaha, tapi sampai sekarang saya belum melakukannya.
Eh, lupakan curhat colongan saya tadi, dan mari kita bicarakan hal lain.
Secara psikologis, orang yang baru saja melakukan sebuah keberanian umumnya akan merasa puas. Nah, jika kita tidak berhati-hati, rasa puas itu bisa menjatuhkan kita pada lubang kesombongan.
Saya menangkap adanya kecenderungan ini: orang yang belum lama menikah atau belum lama menjadi pengusaha, sepertinya senang sekali mengompori teman-temannya untuk juga segera menikah atau menjadi pengusaha.
Saya pribadi tidak keberatan dengan upaya pengomporan itu. Bahkan saya tidak terlalu ambil pusing ketika mereka sudah mulai melebih-lebihkan diri sendiri, tentang betapa beraninya mereka. Sebab, saya memandang bahwa mereka memang berani, dan hal itu patut diapresiasi.
Tapi, saya mulai merasa tidak nyaman ketika mereka sudah mulai merendahkan orang-orang yang mereka anggap tidak seberani mereka —termasuk saya. Ini merupakan sebuah bentuk kesombongan yang sudah kelewatan, meskipun mungkin sebenarnya niat mereka baik.
Well, mungkin mereka terpengaruh oleh gaya provokasi dari para motivator di media sosial, khususnya di Twitter. Masalahnya adalah, gaya provokasi yang tidak diramu dengan tepat bisa membuat motivasi terdengar sombong dan memuakkan.
Kenapa mereka harus merendahkan yang lain? Saya khawatir mereka tidak tahu konsekuensi dari apa yang sedang mereka lakukan.
Jika kita terpengaruh oleh provokasi mereka dan lantas memutuskan untuk menikah atau menjadi pengusaha (meskipun sebenarnya belum siap), apakah mereka bisa dan mau bertanggung jawab atas masalah pelik yang datang karena ketidaksiapan kita itu?
Saya rasa mereka akan angkat tangan, sebab mereka pun pasti punya masalah sendiri. Mereka hanya bisa memprovokasi, tapi segala akibat dari keputusan yang kita ambil mau tak mau menjadi tanggung jawab kita sendiri.
Jadi, saya akan menutup telinga terhadap nasihat dan motivasi yang bergaya provokasi, terlebih yang disertai dengan ejekan. Namun, dengan senang hati saya akan mendengarkan nasihat dan motivasi yang disampaikan dengan santun, khususnya tentang menikah dan menjadi pengusaha sukses.
Nasihat dan motivasi itu akan menjadi bahan pertimbangan saya untuk mengambil keputusan, tapi bukan satu-satunya. Jadi ketika ada masalah berat yang menimpa saya atas keputusan yang saya ambil, saya tidak perlu marah-marah kepada mereka —para “motivator” itu.
wah pasti asyik ya mas kalau sudah menikah dan jadi pengusaha sukses. Jadi hidup rumah tangga bahagia 😉
Iya mbak, pasti asyik 😉
setuju sama Mba Ririn..:)
Ms Ditter: hidup itu pilihan, dan smw pilihan pasti ada resikonya masing2…
Iya mbak, setuju 🙂
“Saya selalu senang jika mendengar kabar ada teman yang menikah”, kutipannya bgs bgt,hee…saya juga senang :D, dan nanya dalam hati kpn giliran sy ya?hehe
Hayooo kapaaan…. 😀
kpn sy dilamar ms?hehe #belumadaygmelamarms..hiks3,hehe
Dalam hidup selalu ada pilihan, paragraf terakhir setujuh,
menikah saat dirasa mampu dan mau melakukannya,
menikah dan ‘pengusaha’ semuanya komitmen jangka panjang.
Iya mbak, jangka panjang banget, hehe….
That is why I don’t really like so-called motivator. Apalagi kalau teman sudah sok-sokan ngasih nasihat untuk segera menikah, i mean like, “Dude, go f*ck your husband instead giving me some lectures.” Intinya sih, aku gak suka dikasih nasihat sama orang yang aku rasa gak berhak untuk ngasih aku nasihat. 😆
Kimi, aku senang, karena sepertinya kamu baca tulisanku dengan saksama. Terima kasih :’)
menurut saya itu mah bukan keberanian, tapi pilihan 🙂
yup setuju orang kesannya terlalu melebih-lebihkan jadi kesannya somse
jika belum bisa menikah dan jadi pengusaha, bagaimana kalau menikah dengan pengusaha
atau jadi pengusaha pernikahan :p
salam
Menikah dengan pengusaha kayaknya pilihan yg asyik tuh. Masalahnya, ada nggak pengusaha yg mau sama saya, ahahaha…. :))
hehe.. di lingkungan saya juga banyak yg ngompor2in.. “Kalo cewe jangan terlalu sibuk, jangan ngelanjutin S2 dulu, nanti cowo pada minder.., mending udah lulus S1 nikah dulu..” gitu.. lah.. Padahal kta saya mh daripada diem gda kerjaan mending nyibuk2in diri dlu.. sambil nunggu ada yg serius.. ehemmmm jadi curhat deh,,, hehe
Setuju, Mbak. Mendingan menyibukkan diri sambil nunggu ada yg serius. Top! 😀
hehe… y begitulah….
menikah dan menjadi pengusaha, dua-duanya belum terlaksana …
Semangat, Bro!
ya..memang terkadang kita bertemu orang2 yang suka memanas manasi agar kita juga melakukan hal yang sama, menikah secepat yang mereka inginkan….mungkin saja mereka memang sombong, namun bisa saja mereka ternyata bermaksud baik….bukankah menikah itu adalah kebaikan…dan berbuat baik janganlah ditunda-tunda……keep happy blogging always…salam dari Makassar 🙂
Semoga maksud mereka memang baik. Salam juga, Pak. Terima kasih 🙂
Iyah, mas. kita yang belum menjalani keduanya, harus bisa menahan diri. jangan memaksakan dan mempercepat sesuatu yang belum saatnya. semua butuh proses, kalau sudah tiba waktunya panggilan itu akan muncul dengan sendirinya.
Wah, komentar yg bijak. Sip! 🙂
kalau saya baru berani menikah tapi belum berani jadi pengusaha mas 😀
masih takut2 ni kenapa ya…membayangkan resikonya2 jadi bikin ciut rasanya
Lumayanlah udah berani nikah, hehe….
Orangtuamu sendiri pengusaha, Dit. Jadi sebetulnya kamu sudah punya modal untuk mewarisi mereka. Tinggal masalah kamu mau mengembangkan usaha itu menjadi lebih menguntungkan atau tidak.
Sebenarnya sekarang aku juga lagi ngerintis mbak, hehe….
Jadi kapan nikah, Dit? :p *dirajam* ahahaha
Mbak!!
Untuk apa sih nikah? *eh*
Untuk apa, ya…. *mikir
@hijriyan : menikah itu untuk melanjutkan keturunan Ms 😀
Nah! 😀
kalau untuk menjadi pengusaha mudah saya sangat ingin,,,
tetapi kalau menikah di usia muda harus berfikir ribuan kali…..
hehehe….
manatab artikelnya
Jempol deh buat keberanian menjadi pengusaha dan menikah.