Di dekat kantor saya ada sebuah warung makan yang murah meriah. Warung itu menjadi tempat makan favorit para mahasiswa dan pekerja, termasuk saya. Selain pilihan menunya banyak, rasanya pun enak.
Kelebihan lain yang membuatnya pantas dijuluki sebagai warung yang peduli rakyat kecil adalah sistemnya prasmanan. Kita bisa mengambil nasi sebanyak-banyaknya, tentunya semuat piringnya.
Saya sudah biasa melihat para mahasiswa mengambil nasi di sana hingga membentuk gunung. Dan kadang-kadang saya pun melakukannya. Maklum, porsi makan saya relatif banyak.
Oh iya, untuk memudahkan cerita, selanjutnya kita sebut saja warung ini dengan nama Warung A (bukan nama sebenarnya).
Selain murah, enak, dan prasmanan, ada kelebihan lain yang membuat saya senang makan di Warung A, yakni tersedia air putih gratis. Bagi orang pelit seperti saya, air putih gratis merupakan sebuah anugerah.
Begitulah, rasanya Warung A begitu sempurna: murah, enak, prasmanan, dan ada air putih gratisnya. Kalau saya mau membuat warung makan tandingan, pasti saya bakalan pusing tujuh keliling —tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan warung A.
Nah, suatu hari, seorang ibu penjual nasi rames membuka dagangannya tepat di sebelah warung A — hanya dipisahkan oleh tembok. Ia hanya menggunakan gerobak dan tidak menyewa bangunan warung.
Lalu bagaimana jika ada pembeli yang mau makan di tempat?
Si ibu menempatkan sebuah bangku panjang di pinggir jalan yang biasa dilewati orang. Bangku itu berada dalam lindungan atap seng. Di sanalah pembeli bisa menikmati makanan mereka. Kondisinya secara umum memang tidak begitu layak untuk ukuran sebuah warung makan.
“Apa ibu itu bisa bertahan, ya?” tanya teman saya ketika pertama kali melihat si ibu nasi rames. Saya hanya mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa.
Dalam hati, saya menebak, paling-paling seminggu-dua minggu lagi si ibu nasi rames bakalan tutup, kalah oleh warung A.
Tapi, yang terjadi sungguh di luar perkiraan saya. Warung si ibu ternyata laris, dan warung A juga tetap ramai. Dan yang tak saya sangka pula, sekarang saya jadi langganan si ibu nasi rames!
Cita rasa masakan antara warung A dan “warung” si ibu berbeda. Kalau di warung A, cita rasanya agak manis, sementara di warung si ibu nasi rames agak asin.
Saya lebih menyukai masakan dengan cita rasa asin. Tapi kalau pas lagi bosan, kadang-kadang juga beralih ke masakan dengan cita rasa manis. Kesimpulannya, kedua warung itu saling melengkapi untuk memuaskan selera saya, dan tentunya juga selera konsumen lainnya.
Benar ya, rezeki sepenuhnya merupakan kuasa Tuhan….
Itulah kebiasaan anak kosan selalu berpindah2 warung mencari cita rasa yang hampir sama dengan masakan rumah 😀
Tau aja mas, hhehe….
Jarang makan diluar 😦
Makan di dalam juga enak, Mas, hehe…
Kalau warung A ada saingan kan biar seru. 😛 Dan tentunya untuk menambah pilihan bagi mahasiswa dan pekerja di sekitaran kantormu. 😀
Betul 😀
hahaha..begitulah rejeki Mas…ngak bisa dihitung pakai teori matematika 😀
Yupz 😀
Rejeki orang kadang kita tidak perna tau, Allah mengatur semua rejeki setiap orang dengan adil 🙂
Iya, Mas 🙂
wah kalau berbicara warung makan, saya malah jadi lapar mas hehehe 😀
lidah memang tidak bisa dibohongi ya
Jaman kuliah dulu sampai sekarang, saya masih sering mampir warung prasmanan deket kampus saya dulu, hehe 😀
Nostalgia ya, Mas, hehe….
setuju, Allah pasti sudah mengatur rezeki semua hambanya…:D tulisannya bagus2 mas Ditter…:)
Aaaaak… terima kasih banyak!