Tadi malam, saat pertandingan final sepakbola Sea Games ke-26 antara Indonesia dan Malaysia berlangsung, salah seorang kawan memasang status BBM kurang lebih seperti ini: ‘Ini bukan nasionalisme, tapi euforia’. Setelah saya renungkan, sulit untuk menyangkal kebenaran status BBM tersebut.
Nasionalisme pada dasarnya adalah paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jadi, orang yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi akan berusaha berbuat kebaikan untuk negaranya tercinta.
Nah, para suporter yang datang berbondong-bondong ke Gelora Bung Karno untuk mendukung timnas memang menunjukkan bahwa mereka nasionalis. Namun, ketika terjadi pembakaran loket penjualan tiket pertandingan, jelas itu bukan nasionalisme, melainkan euforia.
Euforia para prinsipnya adalah perasaan gembira yang berlebihan. Perasaan seperti itu sangat mudah rusak oleh kekecewaan. Bila sudah kecewa, perasaan gembira itu berbalik menjadi kemarahan yang berlebihan, menutup rasa syukur, dan kemudian mendorong kita untuk melakukan aksi kekerasan.
Selain itu, euforia dalam hal ini bisa membuat kita menjadi sauvinis, yakni orang yang mencintai tanah air dan bangsa sendiri secara berlebihan. Para sauvinis hobi menghina bangsa lain yang menjadi pihak lawan. Hal ini terjadi misalnya pada saat pertandingan grup antara Indonesia dan Malaysia, di mana lagu kebangsaan Malaysia saat itu tidak mendapat penghormatan yang layak.
Menurut saya, nasionalisme tidak seperti itu. Memang, pada kasus pembakaran loket, wajar bila suporter marah, karena tampaknya panitia sangat tidak profesional. Panitia seperti itu benar-benar brengsek. Namun, bila benar kita mencintai negara ini, pembakaran seperti itu tidak perlu terjadi, karena justru merugikan negara serta mencoreng nama bangsa. Pasti ada langkah lain yang lebih kalem namun positif dan efektif, misalnya mengajukan protes keras kepada panitia melalui lembaga yang berwenang.
Bila memang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, maka kita akan selalu mendukung timnas, baik ketika timnas sedang terpuruk maupun sedang berjaya. Tidak kemudian memuja-muja timnas ketika menang, namun berbalik mencela ketika kalah. Menurut saya, hal seperti itu bukanlah nasionalisme sejati.
Satu lagi, bila ribuan warga Jakarta yang mendukung timnas di GBK itu benar-benar nasionalis, saya rasa keadaan Jakarta akan lebih baik dari sekarang. Tidak ada itu tawuran, demonstrasi dengan aksi kekerasan, serta pengrusakan atau pencurian fasilitas umum, sebab semua itu jelas cuma merugikan negara. Di samping itu, bila para pejabat yang mendukung timnas benar-benar nasionalis, mereka akan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, fokus memajukan bangsa dan negara, tidak hanya fokus bergaya hidup mewah….
Gambar diambil dari sini.
Bila memang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, maka kita akan selalu mendukung timnas, baik ketika timnas sedang terpuruk maupun sedang berjaya. Tidak kemudian memuja-muja timnas ketika menang, namun berbalik mencela ketika kalah. Menurut saya, hal seperti itu bukanlah nasionalisme sejati.
>> bener banget! mengutip kata salah satu pesepak-bola terkenal: Salah satu faktor eksternal penyebab kekalahan Garuda saat melawan Malaysia (klo ga salah waktu BePe, Irfan Bachdim dkk yg berlaga) adalah karena pers terlalu bombastis dalam memuja-muja dan menyorot Timnas sebelum laga berlangsung. Akibatnya para pemain merasa menang duluan dan diatas angin. Padahal waktu kalah, yg terjadi malah sebaliknya. pers menjelek-jelekkan Timnas tsb.
kaget juga pas tadi baca berita pembakaran loket..
ga ngerti maunya apa suporter yang melakukan tindakan tak terpuji itu..
(_ _”)
Dengan sepak bola, rasa nasionalisme rakyat indo meningkat pesat ya
betul mas, kalah menang memang hal yang pasti dalam suatu pertandingan. dengan kekalahan ini seharusnya kita tidak bertindak arogan seperti itu.
Bagaimanapun saya tetap bangga dengan perjuangan garuda muda semalam.
Maju terus Indonesiaku.
iya bener jangan sampe jadi chauvinis tuh, beda bgt lah sama nasionalis 😀
menyeramkan juga ya kalo nasionalisme salah kaprah. ujungnya chauvinisme. pemahaman rakyat indonesia baru sebatas itu, harus diperbaiki dimulai dari kita sendiri. yuks.
Sepak bola ternyata mampu menyatukan rakyat Indonesia. Mungkin ini bisa disebut euforia, membakar loket pembelian karcis juga tak dibenarkan, tapi selain ini dalam hal apa sih kita bisa sefanatik ini terhadap merah putih setelah meletakan bambu runcing? Rasanya cuma di sepak bola deh. Semoga sepak bola bisa membawa bangsa kita keluar dari sifat2 jeleknya 🙂
salam kenal dari blogger Pontianak dear 😀
saya sangat setuju sob…. 😀
inilah euforia jilid II, bukan nasionalisme krn banyak ekses yg buruk setelah kejadian final malam itu….!
berkunjung sob..salam blogger
sukses selalu yah..:)
iya, mas.
waktu indonesia kalah, beranda fb saya penuh sama umpatan kekecawaan 😀
terima kasih sudah berkunjung 🙂
Indonesia memang masih harus banyak belajar. Belajar dewasa! Tentu saja dalam artian yang sebenarnya. Bisa memilih antara yang benar dan yang benar. Bukan DEWASA dalam artian, “deDE Wadul kaSAsaha”.
harus sportif jgn ricuh…
OK. Saya sepakat dengan Nasionalisme dan Euphoria (saya juga euphoria, soalnya), tapi saya tidak sepakat dengan Sauvinisme.
Nasionalisme haruslah suatu yang positif, bukan dengan anarkis. Thanks atas sharenya.
nasionalisme timbul saat maen bola aja ==”