Minggu pagi itu (9/11), saya pulang ke rumah. Kebetulan sejak Merapi meletus pada hari Selasa (26/11) yang lalu, saya belum menengok rumah sama sekali. Papi sendiri sih bilang nggak usah pulang dulu, karena keadaan rumah lagi kacau balau. Tapi saya tetap pulang, pengen tahu keadaan rumah dan sekitarnya.
Setelah sampai, di depan rumah lagi ada beberapa warga yang sedang bergotong royong membersihkan jalan beraspal dari pasir dan abu vulkanik Merapi. Kebetulan rumah saya terletak di pinggir jalan raya, dan jalan itu menjadi licin karena tertutup pasir dan abu. Kalau tidak hujan, debu di jalan itu jadi beterbangan nggak karuan sehingga bisa memperpendek jarang pandang serta berbahaya untuk mata dan paru-paru (bila terhirup).
Setelah memarkirkan sepeda motor, saya pun segera masuk ke rumah. Ya ampun, ternyata beneran kacau. Selain mati lampu (sudah tiga hari), bagian dalam rumah juga penuh debu. Genteng kaca yang selama ini meneruskan cahaya matahari ke dalam rumah di saat siang, kini tertutup pasir sehingga bagian dalam rumah benar-benar gelap.
Oh iya, keluarga kami masih untung, karena bangunan rumah tidak sampai roboh. Beberapa tetangga, atap rumahnya roboh karena tiang atap tidak kuat menahan beban atap yang semakin berat karena tertimpa pasir Merapi. Sekadar informasi, jumlah pasir dan kerikil yang “mampir” di atap-atap rumah itu banyak banget. Kalau dikumpulkan, mungkin bisa mencapai satu mobil pick-up untuk satu rumah.
Setelah melihat kekacauan di dalam rumah, saya keluar untuk melihat kebun salak kami. Wah, kondisinya menyedihkan. Kebun yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga kami, kini rusak parah. Daun dan batang pohon salak pada merunduk, mungkin karena tertimpa pasir yang lumayan berat. Beberapa pohon terlihat layu, mungkin karena tidak tahan menerima panas dari abu Merapi. Waduh.
Kata Ayah saya sih, kebun salak kami harus dikelola dari nol lagi. Pohon yang mati harus dicabut, lalu diganti dengan bibit baru. Sedangkan untuk yang belum mati, batang-batang harus dipangkas hingga menyisakan akar dan batang yang masih utuh saja. Perkiraan saya sih, proses pemulihan hingga kebun itu bisa menghasilkan lagi sekitar dua tahun. Yah, mudah-mudahan nggak selama itu.
Satu hal yang patut disyukuri adalah tanah kebun tentunya semakin subur karena tersiram abu vulkanik. Bagaimanapun, material dari Merapi, termasuk abu, pasir, dan batu merupakan berkah.
Setelah melihat-lihat kebun, saya segera sarapan, lalu bergabung dengan warga untuk bergotong royong membersihkan jalan. Salah satu warga membawa pompa air berbahan bakar bensin, digunakan untuk menyiram jalan supaya mudah dibersihkan. Air diambil dari kali terdekat. Wow, lapisan pasir dan abu yang menempel di jalan beraspal itu keras banget. Untuk mengikisnya, semprotan air pompa nggak berdaya sehingga harus menggunakan cangkul atau pun senggrong.
Oh iya, kemarin itu saya sempat memfoto kebun salak. Berikut beberapa fotonya.

Dilihat dari atas
Wah… saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga warga kampung Mas Ditter terus bersabar, dan terus berusaha membenahi kampungnya. 😐
wuih.. porak poranda ya. Semoga merapi cepat reda
ancur bgt dech kondisinya 😦
“Satu hal yang patut disyukuri adalah ….merupakan berkah.”
Saluuut…!
Emang sedih ngeliatnya, semoga segalanya segera menjadi lebih baik…
mudah2an bencana ini dapat berakhir….
moga kita bisa ambil hikmahnya,,,
ya ampun, Bang… parah banget…
sabar yah…
moga keadaan cepat pulih seperti sediakala… 🙂
semoga para petani2 trsbt senantiasa diberi kesabaran………. klo hbs kena letusan tanahnya kan jadi subur………………